Tradisi Skaten Kraton maulid Nabi
Sejarah SekatenIstilah sekaten berasal dari kata syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat, yaitu Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammmad utusan Allah. Penyelenggaraan perayaan sekaten yang menjadi, mulai diselenggarakan pada masa kerajaan Demak dibawah pimpinan Raden Patah dengan bimbingan Wali Sanga. Acara sekaten kemudian diteruskan oleh sultan Demak selanjutnya yaitu Pati Unus lalu Sultan Trenggono.
Walaupun ada sedikit perbedaan pendapat tentang apa yang menyebabkan sekaten pertama kali dilakukan. Dapat ditarik kesamaan bahwa sekaten dimulai pada masa kerajaan Demak ketika pemerintahan Raden Patah, untuk melestarikan tradisi perayaan tahunan yang sudah ada pada masa Majapahit. Hal tersebut mungkin karena Raden Patah adalah anak raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya V, sehingga ingin melestarikan tradisi warisan leluhurnya. Ditambah sulitnya menghilangkan tradisi yang sudah berakar di masyarakat waktu itu. Tapi tradisi yang berasal dari masa Hindu-Budha Majapahit itu dianggap tidak sesuai dengan islam, maka atas kesepakatan dengan wali sanga, tradisi itu disesuaikan dengan ajaran islam, yaitu dilaksanakan pada bulan maulud tanggal duabelas dengan maksud memperingati hari kelahiran nabi Muhammmad. Masyarakatpun menyambut dengan gembira, para wali sanga kemudian memanfaatkan sekaten ini sebagai cara memperkenalkan islam pada masyarakat.
Pada perayaan sekaten, gamelan yang sangat disukai masyarakat dijadikan alat musik, hal ini menarik masyarakat untuk datang. Gamelan sekaten masih menyisakan pertanyaan manakah gamelan yang berasal dari warisan Prabu Brawijaya V dan dari Sunan Klijaga, karena kraton Yogyakarrta dan kraton Solo memiliki sepasang gamelan. Gamelan Sekaten sebagai pusaka kerajaan ikut berpindah tangan mengikuti kekuasaan mulai dari Demak, Pajang, Mataram lslam. Kemudian Mataram lslam dipecah menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta, gamelan sekaten juga dibagi dua. Namun tidak dapat dipastikan manakah yang mendapat Gong kiai Sekar Delima warisan Brawijaya V dan Gong Kiai Sekati warisan sunan Kalijogo. Penelitian hanya menyebut karena gamelan harus sepasang maka masing masing membuat gamelan baru sebagai pasangannya. Di Yogyakarta Gamelan sekaten diberi nama Kiai Guntur Madu dan Kiai Nagawilo. Di Surakarta gamelan sekaten diberi nama Gong Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari.
Masjid agung Demak yang dibangun para wali menjadi tempat penyelenggaraan sekaten. Kedatangan masyarakat yang akan melihat perayaan sekaten kemudian disambut para wali serta santrinya untuk diperkenalkan agama islam. Sebelum masuk, masyarakat diajari berwudhu, diteruskan membaca kalimat syahadat, lalu masuk ke masjid mendengarkan ceramah tentang agama islam.
Wali sanga menggunakan sekaten sebagai sarana memperkenalkan agama islam pada masyarakat Demak. Perayaan sekaten turut andil dalam penyebaran agama lslam di pulau Jawa. Para wali memanfaatkan sekaten untuk penyebaran agama islam. Perayaan sekaten turut mempercepat proses islamisasi di pulau Jawa. Jadi sekaten digunakan untuk menyampaikan ajaran islam melalui kebudayaan.
Pemerintahan Demak kemudian dipindahkan ke Pajang oleh Jaka Tingkir. Dari Pajang lalu dipindahkan ke Mataram oleh Sutawijaya (Panembahan Senopati). Pada masa itu sekaten tetap diselenggarakan. Pada masa Sultan Agung, yang mempunyai perhatian terhadap adat-istiadat Jawa, perayaan Sekaten disempurnakan dan ditingkatkan kualitasnya. Melalui perjanjian Giyanti kerajaan Mataram dipecah menjadi dua yaitu kasunanan Surakarto dengan pimpinan Sunan Pakubuwono lll dan kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dengan pimpinan. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah l. Sekaten tetap berlangsung di kedua wilayah kerajaan tersebut.
Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta
Setelah menjadi sultan di Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono l, untuk pertama kalinya menyelenggarakan upacara perayaan sekaten. Sultan Hamengkubuwono l, yang mempunyai perhatian terhadap tata cara dan adat keraton bermaksud meneruskan tradisi yang sudah ada sejak sebelumnya. Sekaten pada masa Pemerintahan Hamengkubuwono l melibatkan seisi keraton, aparat kerajaan, seluruh lapisan masyarakat, dan mengharuskan pemerintah kolonial berperan serta. Pada masa tersebut rakyat hidup aman, tentram dan sejahtera. Upacara kerajaan seperti sekaten juga mencerminkan kemuliaan, kewibawaan keraton, kehidupan, dan tingkat kebudayaan keraton. Keraton berfungsi sebagai pusat tradisi dan kebudayaan Jawa.
Perayaan sekaten juga terus dilangsungkan oleh sultan sesudahnya sampai sekarang pada masa Sri Sultan Hamengkubuwonop X. Walaupun dalam keadaan gawat seperti ketika Belanda membuat kemelut dengan menurunkan tahta Sri Sultan Hamengkubuwono ll, digantikan Sri Sultan Hamengkubuwono lll, sekaten tetap dilangsungkan.
Secara garis besar rangkaian upacara sekaten adalah sebagai berikut;
– Perayaan sekaten diawali dengan slametan atau wilujengan yang bertujuan untuk mencari ketenraman dan ketenangan. Slametan ini dimulai dngan pembuatan uborampai sampai perlengkapan gunungan. Ini juga sekaligus menandai pembukaan pasar malam sekaten. Pada bagian ini masyarakat banyak berkunjung untuk mencari hiburan atau membelui makanan yang dijual.
– Satu minggu sebelum puncak acara sekaten gamelan dikeluarkan dari keraton dibawa ke Masjid Agung, kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau miyos gongso. Selama satu minggu gamelan Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Ngawila dibunyikan terus kecuali pada saat adzan dan hari jumat.
– Upacara numlak wajig yang bertempat di magangan kidul. Upacara ini menandai pembuatan gunungan wadon. Upacara numplak wajik diiringi gejok lesung tujuannya agar pembuatan gunungan wadon berjalan lancar.
– Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sultan, pembesar keraton, para bupati, abdi dalem dan masyarakat, selain itu juga dihadiri wisatawan yang ingin menyaksikan. Pada acara ini dibacakan riwayat hidup Nabi Muhammad Miyos Dalem berakhir dengan Kondor Gongso atau gamelan dibawa masuk lagi ke keraton.
– Puncak acara dari perayaan Sekaten adalah grebeg maulid, yaitu keluarnya sepasang gunungan dari Mesjid Agung seusai didoakan oleh ulama Kraton. Masyarakat masih percaya bahwa siapapun yang mendapatkan gunungan tersebut, akan dikaruniai kebahagiaan dan kemakmuran. Kemudian tumpeng tersebut diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat. Mereka meyakini bahwa dengan mendapat bagian dari tumpeng akan mendatangkan berkah bagi mereka, karena itu mereka saling berebut. Selain di Yogyakarta grebeg maulud ini juga ada di Surakarta, Banten dan Cirebon
Grebeg maulud dilaksanakan padan tanggal 12 bulan maulud, tujuannya untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad. Mereka yang berebut gunungan itu berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi awet muda. Sebagai Srono (syarat)nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Jogjakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka memberi cambuk (pecut) yang dibawanya pulang.
Sekaten tidak hanya menjadi milik kerajaan saja, tetapi juga rakyat biasa. Bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta baik yang di perkotaan maupun pedesaan, dari berbagai lapisan sosial, memandang sekaten sebagai sesuatu yang penting dan merupakan upacara khas kejawen dengan hikmah dan berkah, merupakan kebanggaan daerah serta mengingatkan pada sejarah kerajaan Mataram lslam yang didirikan Panembahan Senopati.
Bagi keraton, sekaten tetap di teruskan dan memiliki makna tersendiri. Makna religius berkaitan dengan kewajiban Sultan menyiarkan agama lslam, sesuai dengan gelarnya, yaitu Sayidin Panatagama yang berarti pemimpin tertinggi agama. Dari sejarahnya berkaitan dengan keabsahan Sultan dan kerajaannya sebagai pewaris dari Panembahan Senopati dengan kerajaan Mataram lslamnya dan lebih jauh lagi masih keturunan raja-raja dari masa kerajaan Hindu-Budha (Majapahit). Makna kultural yaitu berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku Jawa
Perkembangan Sekaten Masa Kini
Pada mulanya, fungsi sekaten merupakan media penyampaian dakwah agama islam melalui kebudayaan oleh wali sanga pada masa kerajaan Demak. Sekaten merupakan pengganti dan penyesuaian tradisi yang sudah ada sebelumnya. Jadi fungsi utama sekaten sebagai syiar agama islam melalui sarana kebudayaan. Para wali sanga dengan cerdas memanfaatkan kebudayaan sebagai sarana dakwah.
Namun sekarang dengan perubahan jaman, nilai itu meluntur tapi tidak hilang, juga lebih menonjolkan fungsi baru yaitu sisi komersil, ekonomi dan hiburan. Salah satu sisi baru dari sekaten yang menonjol adalah dilihat secara ekonomi. Yaitu penyelenggaraan sekaten dikemas dalam Pasar Malam Perayaan Sekaten atau biasa disingkat PMPS, yang dimulai sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pasar malam ini diselenggarakan selama sebulan di alun-alun selatan dengan berbagai hiburan, stan penjualan, stan promosi, makanan-minuman, pertunjukan seni. Pasar malam selama sebulan di alun-alun selatan menjadi semacam pesta bagi rakyat. Di pasar malam sekaten terdapat hiburan rakyat yang sulit ditemui seperti ombak banyu, tong setan dan berbagai permainan lainnya. Pada hiburan seperti itu antusiasme masyarakat cukup tinggi, karena permainan seperti itu sulit ditemui dan kebutuhan akan hiburan.
Perubahan dan perkembangan penyelenggaraan sekaten, juga bergesernya makna sekaten tidaklah mengapa karena tidak menghilangkan esensi sekaten. Perubahan tersebut tak terelakkan karena perubahan cara berpikir masyarakat, perubahan kebutuhan dan berubahnya jaman. Perkembangan sekaten juga menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Perubahan ini menguntungkan dan memberi manfaat pada banyak pihak.
Penyelenggaraan sekatenpun menjadi aset pariwisata daerah. Sekatenpun menjadi wisata tidak hanya bagi warga Yogyakarta saja tapi juga dari luar Yogyakarta, t terbukti ketika perayaan sekaten banyak wisatawan dari luar daerah yang datang ke Yogyakarta untuk melihat sekaten. Ini menunjukkan bahwa sekaten merupakan aset wisata yang menarik.
Dari sisi ritual, sekaten tetap terpelihara, dan masih mendapat perhatian terutama oleh generasi tua. Bagi masyarakat terutama generasi tua yang masih percaya memaknai sekaten sebagai sarana mencari berkah, sehingga merka berebut gunungan.
Sekaten merupakan wujud akulturasi kebudayaan yang terus bertahan dan berkembang melewati berbagai jaman sampai sekarang, maka harus tetap dilestarikan. Sekaten merupakan fenomena budaya yang unik, menarik dan langka yang berkaitan dengan berbagai hal. Sekaten juga mngandung berbagai makna. Makna lama sudah semakin memudar tapi muncul makna baru dari sekaten. Sekaten juga mendatangkan manfaat bagi banyak orang.
Penyelenggaraan sekaten penting, kerena memang dibutuhkan dan menguntungkan banyak pihak, dan berkaitan dengan banyak aspek. Sekaten di Yogyakarta ini menarik untuk dipelajari.
Daftar pustaka
Wignyasubrata. Tanpa tahun. Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Soelarto, B. 1996. Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta : Kanisius.
Sofyan, Ridin dkk. 2004. Islamisasi di Jawa (Walisongo, Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Internet
www.google.com
0 komentar: